Friday, September 4, 2009

Let's Read a Spoiler for my fic

Sebenarnya bukan spoiler ding, udah pasti bakal dipublish kayak gini. Fandom Law of Ueki, A to Z. Habis, belum bisa diupload di FFn, FFn ngehang lagi :-(

Chapter 1:http://www.fanfiction.net/s/5335167/1/A_to_Z

Chapter 2: B
Bad
“Screaming is bad for the voice, but it's good for the heart.”
-Conor Obrest-

Ueki dan Mori melangkah keluar dari taman bersama. Seperti biasa, mereka selalu memilih diam saat pulang karena mereka sudah cukup kelelahan menjalani hari-hari mereka dari pagi sampai sore, bahkan terkadang sampai senja.

Tapi, suasana sunyi itu tidak berlangsung lama karena akhirnya Mori memilih berbicara.

“Ueki,” katanya, “Apa yang akan kamu lakukan jika kamu sedang merasa begitu tertekan?”

Ueki tidak menjawab. Ia hanya diam memandang langit yang menggelap. Sejurus kemudian, ia berkata, “Aku sih akan melakukan apapun yang kuinginkan selama itu tidak merugikan orang lain. Memangnya mengapa kau menanyakan hal itu?”

“Kalau begitu…,” kata Mori, merunduk, “Apakah aku boleh berteriak jika aku merasa tertekan?”

“Terserah kamu,” kata Ueki, “Kamu boleh melakukan apapun yang ingin kamu lakukan, termasuk berteriak. Lagian, seharusnya kamu sendiri yang tahu apa yang harus kamu lakukan.”

“Berteriak.. ya.. Kurasa aku akan melakukannya hari ini..,” gumam Mori halus, nyaris tidak terdengar.

Battle
“People do not want words - they want the sound of battle - the battle of destiny”
-Gamal Abdel Nasser-.

Impian setiap orang berbeda-beda, dan mereka semua ingin mewujudkannya. Namun karena impian mereka berbeda-beda, impian mereka mengalami fraksi – pergesekan-pergesekan yang merugikan.. Dan gesekan-gesekan itu seringkali menghancurkan mimpi-mimpi itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Dan bodohnya, kebanyakan orang, bukannya mencoba meraih impian itu, malah berkompetisi dengan gesekan-gesekan itu, berharap agar gesekan itu menghilang, meski yang terjadi sebaliknya : gesekan itu menghilangkan kesempatan untuk merain impiannya.

Dan impian dua orang insan manusia: Ueki Kosuke dan Mori Ai, apakah akan menjadi serpihan-serpihan kecil? Mungkin saja akan ada pengecualian untuk mereka berdua, kan? Selama mereka masih bersahabat, dan sahabat adalah hal terkuat yang pernah ada.

Beauty
“Beauty is not in the face; beauty is a light in the heart.”
-Kahlil Gibran-

“Apakah aku sudah cantik, yah?” tanya Mori pada ayahnya saat ia hendak menghadiri pesta ulangtahun Ueki. Sejujurnya, Mori bukan gadis-gadis kebanyakan yang sangat peduli akan penampilannya. Tapi, entah mengapa, untuk saat ini saja, ia ingin terlihat cantik. Mungkin memang ada saatnya seorang perempuan ingin tampil secantik mungkin di depan banyak orang.

Sebagai jawaban, ayahnya megacak rambut Mori perlahan, membuat Mori yang sudah dandan dengan rapi sedikit kesal.

“Yah, aku kan sudah dandan, masa ayah acak-acak lagi?” kata Mori, sedikit kesal. Ia lalu menyisir rambutnya kembali agar rambutnya terlihat rapi.

“Ai-chan,” kata ayahnya dengan nada yang serius, “Kamu sudah cantik. Tidak perlu dandan apa-apa lagi. Cukup buatlah dirimu nyaman.”

“Ayah..,” kata Mori, terperanjat. Ia segera melihat dirinya lagi di cermin, dan seketika itu ia menyadari bahwa kata-kata ayahnya itu benar. Ia sudah cantik tanpa harus berdandan terlalu berlebihan, karena kecantikan itu berasal dari keyakinan hati.

Dan akhirnya, Mori pun melangkah keluar dari rumahnya dengan rasa percaya diri.

Bitter
“Patience is bitter, but it bears sweet fruit.”
-Turkish Proverb-

Mori hanya bisa menunggu. Menunggu Ueki dengan sabar di taman. Laki-laki berambut hijau itu belum terlihat barang batang hidungnya hari ini, padahal mereka sudah janjian akan bertemu di taman hari Minggu ini untuk membersihkan taman.

Yah, meski Mori tahu terkadang Ueki suka terlambat untuk melakukan “hal-hal kebajikan”, tapi siapa yang tidak cemas jika orang yang ditunggunya belum datang padahal sudah nyaris 1 ½ jam ia menunggu. Mori telah mencoba menghubungi HPnya, tapi tidak dijawab. Dan Mori sangat tahu bahwa Ueki orangnya teledor, bisa saja ia kelupaan membawa HPnya atau bahkan HPnya rusak (lagi) gara-gara tercebur di air.

“Uhh.. Ueki,” kata Mori kesal. Ia mencoba bersabar. Ia yakin pasti Ueki akan datang. Dan ia tak mau membuat dirinya kecewa karena ia meninggalkan Ueki begitu saja padahal laki-laki polos itu sedang dalam keadaan darurat.

Dan akhirnya, ia melihat Ueki. Bukan hanya sekedar batang hidungnya, tapi seluruh tubuhnya. Dan hal itu membuat Mori … merasa begitu bercampur aduk. Ada rasa kesal karena Ueki begitu lama, dan juga ada rasa bahagia dan lega begitu melihat Ueki datang.

“Eh, Mori,” kata Ueki, “Maaf telah membuatmu menunggu.”

Dan sebuah ketukan kencang mendarat tepat di kepala Ueki. “Bodoh,” kata orang yang menjitaknya itu, “Padahal aku telah menunggumu lama-lama, tapi mengapa kamu baru datang sekarang?”

Ueki dengan polosnya menjelaskan, “Maaf, aku tadi habis menolong kakek-kakek yang berjualan buah-buahan. Tadi kakek-kakek itu hendak memindahkan sebuah boks berisi buah-buahan, tapi karena boksnya berat, kakeknya jatuh. Aku lalu menolongnya dan membantu merapihkan kembali isi boksnya. Dan… kakek itu memberikanku ini.”

Sebuah apel berwarna merah berada di tangannya.

“Makanlah. Kamu kan sudah lama menunggu,” kata Ueki dengan nada polos, membuat muka Mori bersemu merah.

“B.. baiklah!” kata Mori cepat-cepat. Ia lalu menyambar apel yang berada di tangan Ueki itu.

Blind.
“I think we are blind. Blind people who can see, but do not see.”

“Bodoh. Kau bertindak seakan tidak memperhatikan dirimu sendiri?” tanya Mori kesal saat lagi dan lagi, Ueki menolong orang lain dengan mempertaruhkan dirinya sendiri. Justru, Mori berpikir jangan-jangan ia yang lebih gemas setiap melihat Ueki terluka. Habis, Ueki selalu “tidak jera” mengulang hal yang sama.

“Tapi aku tidak bisa berpura-pura tidak melihatnya jika melihat ada orang yang kesusahan, jadi aku harus menolongnya,” jawab Ueki dengan sedikit memberi penekanan, “Aku kan tidak buta..”

Dan seketika itu juga, Mori hanya bisa tertohok dengan apa yang dikatakan Ueki. Iya, karena sering kali ia berpura-pura tidak melihat apa yang terjadi di sekelilingnya.


Bright
“We could learn a lot from crayons; some are sharp, some are pretty, some are dull, while others bright, some have weird names, but they all have learned to live together in the same box.”
-anonym-

“Aku masih cemas akan kepergianku ke Inggris,” curhat Mori suatu hari di kelas kepada Ueki, “Kau tahu, disana kan orangnya budayanya berbeda dengan disini. Aku jadi merasa… takut.”

“Hei, mau makan okanomiyaki ini?” kata Ueki sambil menyodorkan okanomiyakinya.

“Hei, kamu ini, jangan membalas dengan hal yang tidak nyambung, dong,” kata Mori kesal. Temannya yang satu ini memang terkadang membuat kesabarannya habis, meski Ueki memang teman terbaik yang pernah ia ketahui.

“Maaf,” kata Ueki tidak berdosa, “Menurutku, kamu cuma terlalu cemas. Toh mereka makan dan minum seperti mereka. Mereka juga ke sekolah seperti kita. Jadi apa hal yang harus kamu cemaskan?”

“Hanya saja.. mereka kan memiliki budaya yang berbeda dengan Jepang,” kata Mori.

“Memang semua manusia berbeda, kok. Dan tak ada yang harus kamu cemaskan tentang perbedaan itu,” kata Ueki, “Toh aku dan kamu juga berbeda,kan?”

1 comment:

  1. ya ampun...
    ueki x mori? o.O
    ckckc...
    di animenya ueki dan mori ga seromantis itu :3
    *digeplak*
    nice fiction ~!

    ReplyDelete